Sabtu, 28 April 2012

reformasi birokrasi


A.      Latar Belakang
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat ini telah mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik kearah desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah.
Bagaimanapun juga sentralisasi mengakibatkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan pembangunan yang hanya terpusat pada pulau jawa dengan hegemoni “Jakarta”nya pembangunan di berbagai sektor di daerah-daerah mengalami ketimpangan dengan adanya desentralisasi seperti sekarang diharapkan daerah dapat melakukan pembangunan secara maksimal di daerahnya sendiri sehingga tercipta pemerataan pembangunan.
Pengalaman dari banyak Negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai sebuah stabilitas system dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas sistim secara keseluruhan.
Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan dengan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung kepada pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah dan Perangkat daerah lainnya, artinya perlu adanya hubungan yang harmonis antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah, antara eksekutif dengan legislatif.
Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi dan Otonomi Daerah ini adalah adanya keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan dimasa depan benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan terutama mereka yang ada didaerah daerah. Keinginan yang sangat kuat ini didasarkan pada kenyataan masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah mencerminkan dan mewakili kepentingan massa rakyat daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain diselenggarakan sesuai dengan amanat undang-undang otonomi daerah yaitu    Undang-Undang no. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah tentu saja memerlukan aturan-aturan perundangan lain yang bersifat kedaerahan yang disebut dengan peraturan daerah yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi daerah yang diidamkan selama ini.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a menjelaskan yang pada intinya adalah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Kepala Daerah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas untuk mendapat persetujuan bersama Junto Pasal 25 butir b dan c yang berbunyi Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang mengajukan Peraturan Daerah dan menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Peraturan Daerah ini menjadi sangat penting karena selain merupakan penjabaran atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah juga harus memperhatikan betul kebutuhan dan perkembangan yang ada di daerah yang bersangkutan, artinya dengan diterbitkannya Peraturan Daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan ketentraman/ketertiban umum serta menimbulkan kebijakan yang bersikap diskriminatif.
Berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Daerah telah pula diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang prosedur dan tehnis pembentukan Peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya Peraturan daerah.
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga akan terjadi keseragaman bentuk aturan perundang-undangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Tujuan teoritis
B. reformasi birokrasi 
Mengapa harus dilakukan reformasi pada birokrasi? Pertanyaan ini menjadi teramat penting untuk dilontarkan, karena pada mulanya implementasi konsep birokrasi ―yang diperkenalkan Max Weber― pada organisasi yang memiliki rentang kendali luas dan rumit, adalah sebuah jawaban yang tepat. Dikatakan demikian, karena teori ini dibangun untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan efektifitas terbaik bagi organisasi. Hal ini dikukuhkan dengan penilaian Silverman dalam bukunya, “The Theory of Organizations” yang menyatakan bahwa birokrasi merupakan tipe organisasi paling efisien. Bahkan, Joyce Warham dalam “An Open Case” menyebutkan bahwa birokrasi model Weber mempunyai tipe ideal yang sama seperti tipe ideal profesionalisme. Weber mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi seperti berikut :
1. Terdapat pembagian kerja yang jelas dan terperinci.
2. Berpedoman pada prinsip hierarki, yang dapat diartikan bahwa jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi.
3. Menjalankan sebuah sistem yang konsisten dan terdiri atas aturan-aturan.
4. Setiap pegawai, melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan yang formal-impersonal.
5. Rekrutmen pegawai didasarkan pada kualifikasi teknis, yang kemudian diberi remunerasi berdasarkan tingkatan kepangkatan, kemampuan serta keahlian.
Secara teori, birokrasi memang diarahkan untuk membentuk sebuah proses rutinitas less-dinamis (administrasi khususnya), namun proses yang dibentuk dalam sebuah birokrasi bukan semata rutinitas buta belaka. Seperti telah disebutkan diatas, birokrasi disokong oleh nilai-nilai profesionalisme, spesialisasi, produktifitas, kontrol yang ketat melalui sistem yang baku dan hierarkis serta mendukung semangat impersonality.
Kini, pengertian birokrasi lebih bernada negatif, seperti terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ―http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi― (Des. 2008), yang didefinisikan sebagai :
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Serupa dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Merriam-Webster (Des. 2008), mendefinisikan birokrasi, sebagai :
1.      a : a body of non-elective government officials.
b : an administrative policy-making group.

2.    . government characterized by specialization of functions, adherence to fixed rules, and a hierarchy of authority.

3.      . a system of administration marked by officialism, red tape (official routine or procedure marked by excessive complexity which results in delay or inaction), and proliferation.
Merujuk kedua referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian birokrasi disini bersumber dari interpretasi teori dan premis general implementasi riilnya. Artinya bahwa, kesalahan umum selama ini dari birokrasi telah terjadi sejak tahap interpretasi dan implementasi konsep Weber yang bersifat parsial, irresponsif-pasif terhadap perubahan (stiff-inward looking), process oriented/minded namun terbuka bagi interfensi politik.
Sebenarnya, kegagalan konsep birokrasi ini telah diantisipasi oleh Weber sendiri, apabila hal-hal berikut kurang mendapatkan perhatian yang semestinya, yaitu :
1. Wewenang hierarki vertikal terlalu dominan dan tidak sesuai aturan yang ditetapkan, sehingga mengabaikan fungsi kewenangan sub-ordinat dibawahnya. Hal ini dapat memicu ”conflict of competence”, apalagi bila terdapat keputusan yang dipaksakan untuk ditetapkan, sehingga terkesan lebih penting daripada manfaatnya.
2. Spesialisasi tidak didukung dengan kompetensi yang memadai serta tidak didahului dengan analisa jabatan dan beban kerja yang tepat, apalagi tidak dilakukan evaluasi pada keduanya secara berkala.
3. Adanya tempat bagi interfensi politis, nepotisme, korupsi maupun kondisi lainnya yang bertentangan dengan prinsip ”impersonal” sehingga menyebabkan terganggunya sistem baik secara partial maupun holistik.
4. Last but not least, terdapat birokrat penentu kebijakan yang resistan terhadap prinsip profesionalisme, sehingga menghindari prinsip transparansi-akuntabilitas.
Apapun bentuk dan implementasinya, birokrasi dapat diartikan secara bebas sebagai suatu konsep organisasi yang diadopsi negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Birokrasi sendiri adalah sebuah bentuk organisasi yang memerlukan partisipasi aktif segenap stakeholder, bukan one man show.
Sedangkan organisasi ―baik besar maupun kecil― merupakan seperangkat interdependensi yang saling erat terkait dan dibatasi sekat-sekat imajiner bertitel fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab. Secara dinamis, tiap sub-organisasi dan tiap individu dalam organisasi berinteraksi dan menumbuhkan interrelasi, yang saling mempengaruhi, baik nilai, sikap maupun perilaku, yang membentuk pulau-pulau budaya. Karenanya, implementasi teori Weber akan menyesuaikan kondisi internal negara dan masyarakatnya serta nilai-nilai budaya yang dijunjungnya. Sudah barang tentu, interpretasi dan implementasi akan birokrasi itu sendiri akan berbeda-beda pada tiap negara. Namun satu hal yang pasti, birokrasi yang dibentuk selalu mengacu pada sebuah backbone nilai/aturan dan cita-cita yang disepakati bersama oleh para founding fathers.
Para Weberian umumnya sepaham bahwa implementasi birokrasi terbaik adalah birokrasi yang dibangun dari bakcbone tersebut yang kemudian disarikan dalam suatu cita-cita serta visi-misi. Mengacu pada visi-misi itulah, sebuah peta strategi holistik berikut sasarannya yang lebih spesifik dibentuk. Profesionalitas dari sebuah organisasi dapat dilihat dari peta strategi dan sasaran yang dibuat, umumnya mengadopsi kriteria SMART (Specific, Measureable, Attainable/Achievable, Realistic/ Reasonable and Timely/Time Related). Oleh karenanya, penting bagi sebuah organisasi, terutama birokrasi, untuk memiliki Key Performance Indicator (KPI) ―sebagai tolok ukur pencapaian sasaran yang telah dibuat selain dari Standard Operational Procedures (SOP) sebagai rambu/pedoman berkegiatan dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai output/outcome standar yang mesti dipenuhi.
Bila kita flashback sejenak, teori birokrasi Weber dibangun untuk mengupayakan nilai tertinggi efisiensi dan efektifitas sebuah organisasi. Oleh karena itu, sebuah birokrasi seharusnya berorientasi pada hasil daripada proses (result oriented rather than process minded) dengan mengadopsi sistem manajemen berbasis kinerja terkait dengan visi-misi yang disepakati secara holistik. Adapun dalam perjalanannya, perubahan merupakan hal yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan agar mampu aktif merespon dan adaptif terhadap perkembangan jaman bukan hanya pada perkembangan politik.
Menjawab pertanyaan di atas, mengapa harus dilakukan reformasi pada birokrasi? karena hingga saat ini tidak terjadi evolusi birokrasi yang berarti dan signifikan untuk merespon segala perubahan yang terjadi (outward looking).
Lalu, apa saja yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam tubuh birokrasi guna mempercepat evolusi birokrasi tersebut?
Yang pertama dan utama, seperti telah disebutkan di atas adalah resosialisasi atas cita-cita dan penjabarannya. Tanpa adanya kesepakatan dalam cita-cita, visi-misi, tujuan (goals), maka sebuah organisasi layak dipertanyakan keberadaannya. Berangkat dari sanalah baru struktur organisasi yang ada dapat direformasi atau bahkan ditransformasikan, agar mampu mengakomodasi segala kegiatan dalam meniti cita-citanya. Proses yang dikenal dengan istilah reinventing organization ini, riilnya mencakup penyegaran, pembaharuan maupun penataan ulang yang berawal dari cita-cita hingga struktur organisasi sebagaimana disebutkan diatas.
Departemen Keuangan mengklaim telah memulai proses ini sejak tahun 2002  dengan melakukan revitalisasi organisasi yang mencakup pemisahan, penggabungan, penajaman fungsi serta modernisasi di segenap lini organisasinya. Hal ini diarahkan untuk menciptakan struktur organisasi yang menghasilkan kebijakan yang berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dengan berorientasi pada aspirasi publik. Reorganisasi Departemen Keuangan dikelola sedemikian rupa hingga menyentuh level sub-organisasi terendah, sehingga tidak lagi bersifat massive serta dikondisikan untuk dapat “self reinventing” sesuai dengan kebutuhan. Hal inilah yang akan mendukung terjadinya proses alam secara natural, yaitu evolusi organisasi penataan organisasi secara berkesinambungan, adaptif terhadap perubahan dan menjadikan birokrasi lebih peka terhadap tuntutan publik serta menghasilkan kebijakan dan layanan yang adil-rasional. Memang, secara logis teori ini telah memenuhi semangat reformasi, namun bila implementasinya tidak segarang teorinya, maka sejarah akan kembali berulang.
Reformasi Birokrasi
Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Ada beberapa alasan kenapa bentuk ideal birokrasi rasional jarang (tidak) nampak dalam praktek sehari-hari. Pertama, manusia maujud tidak hanya untuk organisasi, kedua, birokrasi tidak kebal terhadap perubahan, Ketiga, birokrasi dirancang memang untuk untuk orang "rasional", sehingga dalam realitas mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk fungsi keseharian organisasi (Perrow, 1979). Atas dasar itu maka Bendix (1957) berkesimpulan bahwa birokrasi rasional lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat daripada di negeri timur (Soesilo Zauhar, 2006)

Eisenstadt (1959) telah mengelompokkan gagasan birokrasi ke dalam 2 pandangan, yaitu:
1. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu;
2. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk mempeoleh, mempertahankan danmelaksanakan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Teori Korupsi
Robert Merton terkenal dengan "meansends schema." Menurut teori ini korupsi merupakan suatu kelakuan manusia yang diakibatkan oleh tekanan social sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Semua sistem sosial mempunyai tujuan. Manusia berupaya untuk mencapai tujuan melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Inilah norma-norma lembaga yang dikenal di dalam masyarakat. Sebagaimana biasanya banyak orang mengikutinya, mereka adalah golongan kompromis. Namun demikian sistem sosial juga menyebabkan tekanan terhadap banyak orang yang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut karena pembatasanpembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya. Golongan ini kemudian berupaya mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat.
Teori Edward Banfeld ini terutama ditekankan kepada keterikatan yang terlalu dekat kepada keluarga. Korupsi merupakan suatu ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme ialah suatu perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga atau kepada sahabat atau kepada anggota kelompokya.
Robert Klitgaard merumuskan korupsi secara sederhana: C = M + D – A Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability atau korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan dan kewenangan, tetapi tanpa akuntabilitas.

















Kesimpulan
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan Negara terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan.

6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7. Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.
Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.
c) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.

Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar